
Banda Aceh, BU
Permenaker No. 1/2017 tentang Struktur dan Skala Upah (SUSU) sudah ditandatangani pada tanggal 21 Maret lalu, ungkap Habibie selaku Dewan Pimpinan Daerah (DPW) KSPI-FSPMI
(Konspederasi Serikat Pekerja Indonesia-Federasi Serikat Pekerja Metal
Indonesia) Provinsi Aceh.Permenaker
ini sudah ditunggu lama agar pasal 14 PP 78/2015 bisa operasional dan bisa
menciptakan sistem pengupahan yang lebih transparan.
“Harapan
kita Kaum buruh pada
khususnya dengan terbitnya Permenaker tentang SUSU dimaksud seharusnya bisa
menjadi solusi bagi pemerintah untuk memecahkan masalah pengupahan di republik
inim” kata Habibie.
Namun ia menilai
amanat Pasal 14 PP No. 78/2015 yang dituangkan dalam Permenaker No. 1/2017 ini
sebenarnya bisa dijadikan pekerja untuk mendapatkan kepastian upah di atas upah
minimum yang berlaku bagi pekerja yang sudah bekerja di atas satu tahun
sehingga gonjang-ganjing pengupahan akibat Pasal 44 PP No. 78/2015 bisa
diminimalisir. Namun setelah membaca Permenaker ini, sepertinya harapan
tersebut hanya sebatas isapan jempol saja.
“Ya,
setelah membaca Permenaker ini ada beberapa hal yang perlu saya komentar
tentang isi permenaker ini, yang selain tidak memberikan kepastian bagi pekerja
tetapi juga permenaker ini menciptakan keanehan tersendiri,” katanya.
Diantaranya, pertama, dengan ketentuan Pasal 3 ayat 1 yang mengatur SUSU hanya
sebatas upah pokok, tidak termasuk tunjangan tetap, maka kemungkinan pembayaran
upah di bawah upah minimum akan tetap berpeluang terjadi. Bila dalam SUSU
tersebut upah pokok dibuat di bawah upah minimum dengan alasan ada tunjangan tetap sehingga
upah pokok plus tunjangan
tetap lebih dari upah minimum yang berlaku, bagaimana pekerja akan tahu nilai
tunjangan tetapnya bila tidak dimuat di SUSU.Selain itu ketentuan ini juga akan mengaburkan kewajiban pengusaha
untuk membayar iuran jaminan sosial berdasarkan upah pokok plus tunjangan tetap.
Kedua,
dengan ketentuan pasal 8 ayat 3 maka kemungkinan pekerja hanya
diberitahukan tentang struktur
skala upah untuk golongan jabatan sesuai jabatan pekerja yang bersangkutan
sehingga pekerja tidak tahu struktur
dan skala upah secara utuh. Kondisi ini akan tetap tidak menciptakan
keterbukaan dalam pengupahan. Degan adanya ketidak terbukaan ini maka akan ada
kecurigaan terkait praktek diskriminasi pengupahan.
Permenaker ini juga seharusnya menekankan kata
"Memberitahukan" dengan
makna hard copy SUSU
diberikan ke setiap pekerja, tidak hanya diberitahukan secara lisan. Kalau
hanya secara lisan maka pekerja akan menjadi lupa beberapa hari kemudian.
Pekerja tidak punya bukti tentang SUSU tersebut bila dikemudian hari ada
perselisihan.
Ketiga, pasal
9 ayat 2 dan 3 Permenaker ini mereduksi kata "Melampirkan" menjadi
"Memperlihatkan".
“Menurut
saya seharusnya kata ‘Melampirkan’ berarti struktur dan skala upah menjadi satu
kesatuan degan PP atau PKB.Sangat
aneh bila pejabat disnaker hanya disuruh melihat saja dan setelah itu
mengembalikan struktur skala upah pada saat itu juga ke pengusaha,” kata Habibie.
Kalau
hanya memperlihatkan saja dan langsung dikembalikan pada saat itu juga, dimana
fungsi pejabat disnaker untuk melakukan pengecekan secara lebih teliti dan
melakukan pengawasan dalam proses implementasi struktur dan skala upah tersebut
di tempat kerja. Kalau pejabat disnaker tidak memiliki dokumen SUSU, bagaimana
pejabat disnaker bisa mengkros cek bila ada laporan penyimpangan pelaksanaan
SUSU oleh manajemen.
Kalau hanya memperlihatkan saja artinya permenaker No.
1/2017 ini sangat meragukan integritas pejabat disnaker.Selain itu, bila pejabat disnaker hanya diperlihatkan saja maka
bisa-bisa pengusaha membuat SUSU degan asal asalan atau SUSU perusahaan lain
yang diganti nama saja padahal perusahaan tersebut sesungguhnya tidak punya
SUSU.
“Permenaker
ini sudah mereduksi semangat kehadiran Pasal 14 PP No. 78/2015. Permenaker ini
dibuat dengan setengah hati, tidak dibuat untuk mendapatkan solusi tentang
sistem pengupahan di negara kita. Permenaker ini malah berpotensi menjadi
sumber masalah baru bagi hubungan industrial kita,” ukas Habibie.
(M.Damanik)