Warga Suku Karo yang menjadi anggota Proyek Transmigrasi Lokal Karo, ABRI/Veteran dan keluarga persawahan Sei-Naitek 1992 menggugat PT Leidong West Indonesia Tbk atas dugaan penyerobotan lahan mereka dan berharap Pengadilan Negeri Rantau Parapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya.
Pembukaan lahan dibebankan kepada peserta transmigrasi berupa uang pendaftaran/pancangan yang besarnya bervariasi yakni antara Rp.2500 sampai Rp.12500 perpancang. Selain biaya pancang dan pendaftaran kita juga berkewajiban membayar IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) sebesar Rp 400 per pancang. -Perwakilan Warga-
Labuhanbatu, Sumut | “Kami korban penyerobotan yang semena-mena terhadap lahan pertanian kami,” ujar salah satu perwakilan korban pada BU di Kantor Pengadilan Rantauparapat, Selasa (09/06/2020).
Diterangkannya, “Awal mulanya lahan yang dikuasai para transmigran sehubungan dengan program Repelita I Khusus Tentang Program Stabilitas Ketahanan Pangan Yang Berorientasi Swasembada Beras, maka tahun 1972 Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Labuhanbatu yang dijabat oleh Alm Letkol. Haji Iwan Matsum memberikan Lahan Hutan Negara di Dusun Sai-Naetek Seberang dan disusun Saibuluh Desa Tanjung Pasir Kecamatan Kuala Hulu, Dusun Sai Peranginan Desa Kuala Bangka, Kecamatan Kuala Hilir yang telah dimekarkan menjadi Dusun Seberang Titi dan Dusun Sai Buluh Desa Silalang Taji Kecamatan Kuala Selatan dan Dusun Sai Peranginan Desa Teluk Binje Kecamatan Kuala Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara kepada pensiunan ABRI/Veteran dan keluarga untuk dikelola menjadi lahan persawahan dan pemukiman seluas 4000 hektar,” terangnya.
Pembukaan lahan itu dibebankan kepada peserta transmigrasi berupa uang pendaftaran/pancangan yang besarnya bervariasi yakni antara Rp.2500 sampai Rp.12500 perpancang. Selain biaya pancang dan pendaftaran kita juga berkewajiban membayar IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) sebesar Rp 400 per pancang.
Pada tahun 1976 setelah Lima Tahun diusahai, peserta Transmigrasi Lokal Karo mengajukan lahan menjadi hak milik kepada pemerintah Kabupaten. Pada tahun 1977 Bulan Oktober terjadi bencana banjir yang berakibat putusnya jembatan desa tersebut dan 1978 tambah lagi penderitaan petani akibat serangan hama wereng pada tanaman padi warga hingga Fuso dan tidak dapat dipanen.
Sehingga tahun 1984 lahan proyek Transmigrasi Lokal Karo dan lahan lainnya terisolir karena Tanggul Sai Kuala Hulu pecah dan sarana transportasi pun putus tak kunjung diperbaiki pemerintah.
“Alangkah kagetnya kami pada tahun 1996 PT Antari Raya mengklaim telah memiliki hak guna usaha (HGU) dari lahan kami,” ucapnya.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa pada tahun 1998 tiba-tiba plang PT Antari Raya dirubah menjadi PT. MP Leidong West Indonesia yang notabene anak perusahaan PT Smart.Tbk, Sinar Mas Group.
Dalam permasalahan ini kami korban telah dimediasi oleh anggota DPRD Labuhanbatu dengan mengeluarkan rekomendasi No. 1964/DPRD/2006 yang intinya mendukung tuntutan masyarakat agar PT MP Leidong Wert Indonesia dengan segera membayar ganti rugi atau mengembalikan lahan masyarakat. Walaupun DPRD Labuhanbatu telah merekomendasikan, namun PT Leidong West Indonesia tidak menggubris rekomendasi lembaga DPRD tersebut.
Sehingga warga menggugat PT Leidong West Indonesia yang beralamat di Jalan Mongonsidi No. 14/16, Anggrung, Medan Polonia, Kota Medan, Sumut dengan Perkara no 36/pdt.g/2019/PN.Rap, melalui Kuasa Hukum mereka, Rivalino Bukit, SH dari kantor Advokat Rivalino & Rekan.
Sementara sampai berita ini ditayangkan pihak media masih belum mendapatkan keterangan resmi dari tergugat, PT Leidong West Indonesia. (Erwin Perangin-Angin)