Beranda Daerah Masyarakat Bersatu Dan Bergerak, Pemerintah Melakukan Pembiaran Pelanggaran UU PT dan Perkebunan...

Masyarakat Bersatu Dan Bergerak, Pemerintah Melakukan Pembiaran Pelanggaran UU PT dan Perkebunan Di Blitar

1
0

Blitar, Jatim

Danang Dwi Suratno Kepala Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar mengungkapkan kedatangannya di Kantor Pemerintah Kabupaten Blitar bersama perangkat TV Pemerintah Desa serta Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD), mengantarkan tembusan surat kepada Bupati Blitar atas surat yang ditujukan kepada PT. Perkebunan Tjengkeh.

Selain kepada Bupati Blitar, dirinya menyampaikan tembusan surat juga dialamatkan kepada Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Pertanian, Kapolri, KPK, Gubernur Jawa Timur, Kapolda Jawa Timur, Kapolres Blitar, Camat Doko serta Kapolsek Doko, Senin (5/9/2022).
Di halaman timur kantor pemerintah Kabupaten Blitar seusai menyampaikan surat dan ditanyakan maksud serta tujuan surat untuk perusahaan cengkeh beserta tembusan sebagai laporan kepada beberapa institusi pemerintah, mulai pusat hingga tingkat kecamatan, Danang Dwi menjelaskan tentang surat tertanggal 2 September 2020 yang ditujukan kepada direktur PT. Perkebunan Tjengkeh, menindaklanjuti keinginan warga desanya untuk meminta keterangan pada pihak perusahaan perkebunan, adanya kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai amanat undang-undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan, selain kejelasan Corporate Social Responsibility atau CSR.

“Kami atas nama warga Desa Sidorejo, melaporkan bahwasanya di wilayah kami ada perkebunan cengkeh yang mana sudah memperpanjang HGU, sehingga warga sekitar menuntut kewajiban perusahaan perkebunan dengan berdasar perundang-undangan, yang kita suarakan melalui surat dengan tembusan di lembaga pemerintah adanya tuntutan dari masyarakat adalah CSR, dimana kompensasi tahun 2021 dan 2022 belum diberikan,” ujarnya.

“Kemudian yang kedua, seperti yang diamanatkan dalam undang undang no 39 tahun 2014, seperti surat yang kita sampaikan bahwa pihak PT. Perkebunan harus memfasilitasi 20 persen dari total areal yang diusahakan untuk fasilitasi kebun masyarakat, setelah HGU diperpanjang. Ini ada pak Kamituwo, Ketua BPD dan perangkat desa lainnya. Selaku pemerintah desa, sampai surat ini kita kirim, kami benar-benar belum menerima dengan apa yang seharusnya ditunaikan kepada kami. Sebelumnya kami melakukan mediasi dengan berdiskusi sambil menanyakan perihal tersebut, itu sudah kita lakukan. Namun sampai detik ini, belum ada tindak lanjut dari pihak perkebunan atau niat baik yang kita terima,” ungkapnya sembari menegaskan tidak ada permintaan pembagian lahan untuk diserahkan kepada para petani penggarap atau istilahnya redistribusi tanah.

Foto: Dr. Suhadi, SH., M.Hum., dari Lembaga Kajian Hukum Nasional (LKHN)

Dilain tempat dan waktu berbeda, Dr. Suhadi, SH., M.Hum., dari Lembaga Kajian Hukum Nasional (LKHN) yang mendampingi aksi tuntutan masyarakat Desa Sidorejo terhadap perusahaan perkebunan cengkeh, saat dikonfirmasi dengan permasalahan tersebut menuturkan, bahwa kegiatan perusahaan perkebunan diatur dalam undang-undang perkebunan, dimana setiap perkebunan yang bentuknya perseroan terbatas mempunyai beberapa kewajiban.

Lebih lanjut, Dr. Suhadi mengatakan, untuk Corporate Social Responsibility (CSR) telah diatur dalam undang undang perseroan terbatas. Sedangkan dalam undang-undang, perusahaan perkebunan mempunyai kewajiban menyelenggarakan perkebunan rakyat seluas 20 persen dari lahan yang dimiliki oleh perusahaan perkebunan.

“Saya mendapat informasi tentang data luas lahan lebih dari 500 hektar yang dimiliki oleh perkebunan cengkeh itu. Sehingga 20 persen dari luasan itu, perusahaan wajib menyelenggarakan perkebunan rakyat di luar lahan 500 hektar. Apabila perusahaan memiliki argumen terhadap kewajibannya, maka semua berdasarkan argumen bahwa negara kita adalah negara hukum, dan semua didasarkan pada hukum yang berlaku. Ketika argumentasinya tidak berdasar pada hukum yang berlaku, maka argumentasinya itu diabaikan atau tidak bisa diterima, karena konsep negara kita adalah negara hukum,” tegas praktisi hukum yang juga mengajar di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

“Sedangkan siapa nanti yang berwenang melakukan tindakan ini, tidak hanya masyarakat, tetapi pihak terkait seperti BPN yang mengeluarkan HGU. Kemudian Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden mempunyai kewajiban untuk mewujudkan apa yang diamanatkan dalam undang undang itu.Justru para penguasa punya power untuk mengawal terwujudnya amanat yang dituangkan dalam undang undang tersebut,” pungkasnya. (rid)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here