Bengkulu, bhayangkarautama.com
Warga masyarakat asli desa dan transmigran sebagai pemegang kedaulatan wilayah desa setempat. Sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat” dan sila ke-5 Pancasila,“Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”.
Berdasarkan landasan tersebut, seharusnya pemerintah melalui pejabat baik di pusat maupun di daerah yang sedang menjabat dan berkuasa atas dasar menjalankan amanah dari rakyat mempunyai tanggungjawab moral untuk menjalankan amanah tersebut dengan melindungi dan mensejahterakan masyarakat baik ekonomi, Pendidikan, Kesehatan, dan lain-lain. Kemana lagi warga masyarakat berharap dan mengharapkan kalau bukan ke pejabat pemerintah yang saat ini sedang menjabat.
Seperti yang dialami oleh masyarakat Desa Air Sebayur, tepatnya dusun VII Lembah Duri, Kecamatan Pinang Raya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Dusun Lembah Duri ini sejatinya merupakan desa persiapan, namun seiring berjalannya waktu hal tersebut tak kunjung terjadi sampai saat ini.
Berawal dari adanya lahan Perkebunan atas aset Adrian Woworuntu dengan tanaman utama Kakao dan diduga terjadi pemanfaatan kayu pada saat itu yang mencapai ribuan hektar. Lahan tersebut terlantar puluhan tahun, pada akhirnya warga masyarakat yang merupakan penduduk asli setempat dan sebagian para transmigran melakukan pemanfaatan lahan terlantar tersebut untuk dimanfaatkan sebagai permukiman dan bercocok tanam dan perkebunan serta tanaman lainnya seperti padi untuk sumber mata pencaharian mereka atas rekomendasi izin pemerintah setempat.
Diketahui aset yang digarap masyarakat tersebut sempat pula menjadi barang bukti sitaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan berdasarkan SP. NO. PRIN-160/O.1.14/Ft.1/09/2004 tanggal 09 September 2004 SP. NO. PRIN-13/01.14/Ft.1/02/2005 tanggal 28 pebruari 2005 Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No:097/Pid.B/2004/PN.Jak.Sel tanggal 30 Agustus 2004 Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No: 1932/Pid.B/2004/PN.Jak.Sel tanggal 06 Pebruari 2005.
Lalu kemudian Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melaksanakan lelang eksekusi barang rampasan dalam perkara tindak pidana korupsi An. Adrian Herling Waworuntu berdasarkan putusan yang terdiri dari : MA RI No. 1348 K/Pid/2005 tanggal 12 September 2005 Jo. Put.PT.DKI JKT No. 79/Pid/2005/PT.DKI tanggal 24 Juni 2005 JO Put.PN Jaksel. No. 1982/Pid.B/2004/PN.Jkts.Sel tanggal 30 maret 2005 An. Terpidana Adrian Herling Waworuntu. Jenis Barang Rampasan berupa tanah PT. Perkebunan Way Sebayur Unit Bengkulu dengan perincian sebagai berikut : Sertifikat Hak Guna Usaha No. 33,berakhir pada tanggal 31 Desember 2012 An. PT Perkebunan Way Sebayur (PT PWS).
Kemudian aset tersebut dilaksanakan pelelangan yang dilakukan pada hari Rabu, 9 Februari 2011 pukul 10.30 WIB s.d. selesai, bertempat di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta IV No. 10 Jakarta Pusat. Dan diketahui hasil lelang tersebut dimenangkan oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sandabi Indah Lestari (SIL) pada tahun 2011. Sejak pengumunan lelang tersebut keluar maka operasi yang dilakukan oleh perusahaan mulai berjalan, pihak perusahaan pun sempat melakukan negoisasi terhadap masyarkat yang menduduki areal perkebunan eks Wai Sebayur.
Namun negosiasi yang dilakukan oleh perusahaan tak berjalan mulus, lantaran menurut sebagian masyarakat jika negoisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan tidak memenuhi rasa keadilan. Akhirnya orang-orang yang berada di wilayah eks HGU tersebut sepakat untuk mengajukan kepada Pemerintah Kabupaten untuk dapat meninjau keberadaan mereka yang telah siap untuk menjadi sebuah desa Definitif, jauh sebelum pengumuman hasil lelang dimenangkan oleh pihak PT. SIL. Oleh karena tidak adanya tindak lanjut dari pihak Pemerintah Kabupaten guna memenuhi keinginan masyarakat untuk mendapatkan hak-hak orang-orang di Desa Air Sebayur, akhirnya sepakat untuk memperjuangkan hal tersebut hingga ke pihak Pemerintah Pusat. Namun sampai sekarang belum juga ada kepastian.
Tercatat pula akibat adanya sengketa lahan antara warga dan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik PT (SIL), orang-orang yang berada di sekitar eks HGU tersebut demi memperjuangkan hak-haknya yang mendiami tanah terlantar ini sempat bersitegang dengan pihak perusahaan.
Konflik tersebut terus bergulir hingga tahun 2022 hingga terjadi teror intimidasi yang sudah berlangsung belasan tahun. Berbagai upaya telah dilakukan oleh masyarakat terkait kejelasan dan status tanah permukiman dan lahan yang mereka garap, namun dalam hal ini pemerintah baik daerah maupun pusat tidak ada ketegasan sehingga konflik berlanjut dan tidak ada kepastian hukum bagi mereka. Ini sangat mengkhawatirkan dan dapat berdampak konflik social ditengah masyarakat yang sudah sangat kritis.
Sejak tahun 2004 masyarakat memanfaatkan dan mengolah lahan HGU No. 33 tersebut dengan ditanami pohon sawit sampai sekarang dan dimanfaatkan oleh ribuan penggarap, dan pada tahun 2011 para penggarap terusik dengan adanya pihak asing melalui PT yang mengklaim bahwa lahan yang dikuasai penggarap adalah lahan miliknya atas dasar dari perolehan menang lelang atas aset sitaan Ex. Adrian Woworuntu.
Warga masyarakat/para penggarap akan bertahan dan mempertahankan hidup dan mata pencaharian mereka di atas lahan tersebut sampai titik darah penghabisan di atas tanah kelahiran mereka, dimana masyarakat saat ini menggantungkan kehidupan sehari-hari anak dan keluarganya dari hasil budidaya perkebunan dan pertaninan di lahan tersebut. Hal tersebut mengacu pada surat rekomendasi Pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara no 525/2224/BI tertanggal 9 Mei 2022 tentang Usulan pelepasan HGU 33 yang ditujukan kepada PT. Sandabi Indah Lestari.
Berawal dari pengaduan masyarakat pada bulan Oktober tahun 2022 kepada Lembaga Investigasi dan pengawasan Aset Negara Republik Indonesia (LIPAN RI) di Jakarta tentang permasalahan konflik lahan dan tanah permukiman tersebut, Ketua Lipan RI Harun Prayitno, SE., SH., bersama Tim berkesempatan melakukan investigasi dan dialog bersama masyarakat di lokasi tepatnya di dusun VII Lembah Duri Kecamatan Pinang Raya, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, Sabtu (19/11/2022).
Berdasarkan hasil investigasi di lapangan, diketahui masyarakat sudah belasan tahun bermukim dan menggarap lahan sebelum perusahaan memenangkan lelang yang akhirnya mengklaim pada tahun 2011 bahwa lokasi saat ini adalah kawasan perusahaan.
Pada saat dialog bersama Tim LIPAN RI yang dihadiri oleh Ketua Paguyuban Kelompok Tani Maju Jaya Isman Zarkasi, tokoh masyarakat Yahani, perwakilan perangkat Desa, Mustafa Hadi tersebut, masyarakat yang hadir sepakat ingin mendapatkan kejelasan tentang status tanah permukiman dan lahan yang saat ini digarap.
Masyarakat sudah bulat untuk mempertahankan tanah permukiman dan lahannya dengan melakukan dialog demi menghindari Konflik dengan pihak perusahaan. Pada dialog Bersama masyarakat tersebut, Ketua Lipan RI siap membantu dan berkomitmen tinggi untuk mendampingi masyarakat untuk mendapatkan keadilan sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Saat ini Lipan RI akan melakukan koordinasi dengan berbagai instansi dan Institusi pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mencari jalan keluar, demi menjalankan amanah dari rakyat dan mempunyai tanggungjawab moral untuk menjalankan amanah tersebut dengan melindungi dan mensejahterakan masyarakat. (red)