Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Prof. H.M. Tito Karnavian, Ph.D menerima kunjungan Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara) Irianto Lambrie beserta rombongan DPRD, Bupati, dan juga tokoh adat setempat di Gedung A Kemendagri, Jakarta, pada Senin, (3/2/2020). Pertemuan Mendagri tersebut sifatnya adalah berdiskusi untuk mencari masukan terbaik dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.
Jakarta | Dalam kunjungan tersebut, salah satu hal yang diutarakan oleh Irianto Lambrie, yakni terkait usulan perubahan status Ibukota Kalimantan Utara saat ini, yakni Kecamatan Tanjung Selor, menjadi kota.
“Kita mencari apa yang paling spesifik untuk alasan kita mengusulkan Ibukota Provinsi Tanjung Selor ini yang statusnya kecamatan menjadi nanti daerah otonomi baru kota, yang dipimpin oleh seorang walikota,” kata Irianto.
Menurut Irianto, Kaltara merupakan daerah provinsi yang memiliki perbatasan darat paling banyak dengan negara tetangga, yaitu sekitar 1.038 KM dan perbatasan laut, yaitu Sebatik dan Nunukan dengan wilayah “Tawau” di Sabah.
Menurut Irianto, ada 2 (dua) tantangan utama di dalam mengelola perbatasan. “Satu, persoalan penyelundupan Narkoba yang sampai hari ini susah kita tanggulangi dan ini sangat berat, besar sekali, mungkin di daerah perbatasan lain juga terjadi. Kedua adalah masalah terorisme,” ujar Irianto.
Karena, sambung Irianto, berdasarkan pengalaman wilayah perbatasan menjadi daerah pelintasan bagi teroris. “Khususnya di Nunukan, itu menjadi alasan spesifik kita untuk menjadikan Kaltara Ibukotanya menjadi kota,” ujar Iriranto.
Seiring dengan keputusan Presiden untuk memindahkan ibukota negara ke Kalimantan Timur, kata Irianto, Kaltara menjadi daerah yang paling dekat. “(Kaltara) bisa menjadi daerah penyangga ibukota baru. Daerah penyangga ini paling tidak ada 3 aspek. Satu adalah nanti menjadi supplier untuk energi, khususnya energi yang terbarukan. Karena di Kaltara dibangun pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan Bulungan yang sangat besar. Kedua, dari aspek geopolitik untuk pertahanan ibukota baru dari Utara. Yang ketiga adalah penyangga untuk supply pangan,” tandas Irianto.
Menurut Irianto, Mendagri mendorong pembenahan infrastuktur di wilayah Kecamatan Tanjung Selor saat ini. “Karena untuk kecamatan dalam memenuhi syarat sebagai kota itu cukup lama sesuai Undang-Undang, maka juga ada pemikiran akan ada semacam otorita khusus untuk kota ini yang nantinya akan ada penyerahan kewenangan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah Pusat di daerah untuk mengelola ibukota provinsi ini. Beberapa hal penting yang kita diskusikan (sebagai) salah satu bahan, tapi bukan keputusan ya,” kata Irianto.
Untuk kecamatan dalam memenuhi syarat sebagai kota tentunya tegas diatur dalam Pasal 360 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat strategis bagi kepentingan nasional, pemerintah pusat dapat menetapkan kawasan khusus dalam wilayah provinsi dan atau kabupaten kota.
Hal tersebut tentunya perlu dikaji secara mendalam dan Pemerintah Pusat mengikutsertakan daerah yang bersangkutan.
Lebih lanjut Irianto meyakinkan bahwa perubahan status Kecamatan Tanjung Selor menjadi Kota tersebut tidak akan membebani fiskal negara. Justru dia meyakini bahwa keberadaan Tanjung Selor menjadi kota akan menghasilkan pendapatan baru.
“Di samping sebagai penyangga ibukota baru, juga bisa mendorong kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat. Yang kedua nanti itu akan muncul investasi baru terutama dari swasta, sehingga dengan demikian pembebanan kepada anggaran negara itu tidak akan terlalu berat. Itu yang tadi juga menjadi bahan diskusi utama,” pungkas Iranto.
Sumber : Puspen Kemendagri