Ende, NTT
Kita ketahui bersama bahwa sejak awal berprosesnya Pemilihan Wakil Bupati (Pilwabup) Ende, banyak info kepada publik melalui beberapa lansiran pemberitaan media menjelaskan bahwa ada kekurangan berkas administrasi yang mestinya harus dipenuhi, yaitu Surat Keputusan Partai Politik (SK) DPP dari beberapa Partai Koalisi. Hal ini juga di sampaikan oleh Biro Tatapem NTT Doris Rohi terkait kekurangan berkas yang harus dipenuhi. Dalam pernyataan Doris Rohi tersebut tidak menjelaskan secara implisit soal berkas apa yang menjadi kekurangan.
Terkait kekurangan berkas tersebut, pertanyaan kemudian muncul ke publik yang mempertayakan, Mengapa Bagian BiroTatapem NTT tidak berani menyebutkan kekurangan berkas tersebut kepada media dan publik..?
Sering waktu berjalan, Biro Tatapem NTT melalui pemberitaan menyampaikan bahwa dalam sepekan akan ada pelantikan Wakil Bupati Ende.
Isi pernyataan dirilis dari media online teras.ntt.com :
“Soal pelantikan Wabup Ende sementara masih dalam rencana untuk dilantik besok (Jumat, 28/1/2022–Red), sambil menunggu dari protokol bagaimana pelaksanaannya,” kata Doris kepada media ini, Kamis (27/1/2022) siang.
Terkait berkas yang kurang sudah dilengkapi dan diserahkan kepada bagian administrasi Kemendagri yang berwenang khusus mengurusnya.
Seiring waktu berjalan Pemda Ende melalui Sekretaris Daerah ketika mendapat surat terkait pelantikan, melakukan rapat koordinasi terkait persiapan - persiapan pelantikan. Berdasarkan surat tersebut, Sekda Ende mengeluarkan surat undangan untuk mengikuti proses pelantikan pada hari Jumat, 28 Januari 2022 yang berlokasi di Rumah Jabatan Gubernur NTT pada pukul 15.00 WITA.
Perubahan jadwal pelantikan kemudian berubah dan bergeser mundur ke hari Kamis, 27 Januari 2022 dan terjadi pada pukul 19.00.
Pada tanggal yang sama : Kamis, 27 Januari 2022 Dirjen OTDA mengeluarkan surat untuk membatalkan proses pelantikan Wakil Bupati Ende.
Dirjen OTDA mengirim surat pembatalan pelantikan berarti secara tidak langsung sudah berkomunikasi dan konsultasi dengan Mentri.
Urusan SK adalah Kewenangan Tugas Dirjen OTD yang kemudian diproses dan disetujui oleh Mentri.
Kenapa SK ini ada?
Dengan adanya surat pembatalan/ penarikan SK yang dikirim Oleh Dirjen OTDA ke biro TataPem Propinsi NTT, hal ini menjadi pertanyaan publik yang harus dicermati dan disikapai secara baik.
Pembatalan ini terjadi mungkin ada kesalahan teknis administrasi yang terjadi terkait SK tersebut.
Kemungkinan bisa terjadi dengan berbagai perspektif pemikiran dan penafsiran pandangan cara pikir tentang keabsahan SK tersebut.
Penafsiran bisa muncul jika Dirjen OTDA ( Kewenangan Administrasi ) membatalkan SK tersebut yaitu dengan munculnya pertanyaan : SK ini dikeluarkan oleh siapa Dan Mengapa Bisa Keluar..?
Seandainya dalam kajian internal Kementerian Dalam Negri ditemukan ada kebocoran administrasi yang melampaui batasan kewenangan, maka proses ini bisa berimplikasi pada sebuah pelanggaran kewenangan, sanksi administratif yang mengarah pada tindakan dan proses hukum.
Etika Dan Subtansi Kewenangan:
Dalam kutipan Surat Resmi Penarikan SK pelantikan yang dikeluarkan Dirjen OTDA merupakan surat resmi yang mestinya harus dipatuhi sebagai bentuk intruksi kewenangan yang lebih tinggi.
Surat ini mestinya harus dipatuhi oleh seorang Gubernur, tapi dalam kenyataan ketika mendapat surat tersebut jadwal pelantikan bergeser mudur sesuai jadwal yang disepakati dan tetap dilakukan pelantikan.
Dalam kacamata publik mempertanyakan sikap Gubernur NTT yang berani melaksanakan proses pelantikan tersebut.
Dalam lansiran pemberitaan sindonews, Mentri Dalam Negri menjelaskan soal tugas dan kewenangan gubernur.
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan bahwa gubernur memiliki peran sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Jika para gubernur menyalahgunakan kewenangannya, maka akan diambil alih pemerintah pusat.
Tito mengingatkan agar pendelegasian kewenangan terkait peran gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dapat dijaga dan dijalankan dengan baik. Dia menegaskan bahwa kewenangan yang dimiliki bukanlah hak mutlak yang diemban oleh gubernur.
“Ketika kewenangan itu disalahgunakan, maka pemerintah pusat dapat mengambil alih kewenangan itu. Selain itu, pemerintah pusat juga akan mengintervensi untuk memperbaikinya agar stabilitas roda politik di pemerintahan kabupaten/kota dapat terjaga,” katanya dikutip dari siaran pers Puspen Kemendagri, Jumat 28 Desember 2021. (Damianus Manans)
Penulis: Elvis Gadi Kapo