Jakarta
Praktisi Hukum Rimhot Siagian, SH menyoroti polemik PCR.
Dirinya menegaskan, tarif test PCR seharusnya dibebankan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Hal tersebut ditegaskannya merupakan perintah Undang-undang.
“Pemerintah sampai saat ini masih bersikeras untuk membebankan tarif tes PCR kepada masyarakat, namun hal ini sangat bertentangan dengan Undang-undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009,” jelas Rimhot, pada Kamis (4/11/2021).
Pasal 82 Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 berbunyi :
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
(2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pascabencana.
(3) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
(4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), atau bantuan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Jadi sudah jelas perintah Undang-undang yang tertulis dalam ayat 5, yaitu pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 bersumber dari APBN dan APBD,” jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah mewajibkan tes PCR bagi masyarakat yang hendak melakukan perjalanan.
Kebijakan tersebut memicu beragam pendapat, termasuk munculnya nama perusahaan milik Menko Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir yang turut menerima keuntungan dari swab PCR. (red)