Marianus, warga Kewapante, Kabupaten Sikka, menjadi korban kekerasan fisik oleh beberapa anggota Sabhara Polres Sikka (Aparat) saat patroli pada malam hari pukul 19.30 Wita, (11/04/2020), di Kampung Beru, Kec. Alok Timur, Maumere (TKP).
Sikka, NTT | Saat kejadian di TKP, aparat tiba-tiba memukuli Marianus dan merampas sepeda motornya tanpa Marianus diberitahu apa kesalahannya. Marianus dipukul dan ditendang secara bergantian, HP-nya diambil, dicekik, diborgol, dibuang ke atas Mobil Patroli, hingga tiba di Polres Sikka dibiarkan sampai pukul 23.00 WITA, lalu disuruh pulang tanpa di BAP.
Demikian disampaikan Petrus Selestinus, Ketua Koordinator Tim Penggerak Demokrasi Indonesia & Advokat Peradi yang merupakan Pendamping Hukum Marianus melalui pesan WhatsApp, kepada Bhayangkara Utama, Sabtu (18/04/2020) pukul 23.00 Wita.
Menurut Petrus, Marianus dalam keterangannya mengatakan, “sadar bahwa apa yang telah dialaminya itu, merupakan “tindak kriminal” yang dilakukan oleh aparat Polisi dan juga sadar bahwa ia tidak sedang mengganggu Khamtibmas, tidak sedang merintangi tugas Patroli Aparat dan tidak sedang melakukan kejahatan,” ungkapnya dan oleh karena itu Marianus dan Keluarganya menuntut Kapolres Sikka untuk bertanggung jawab secara hukum atas kejadian yang menimpanya tersebut.
Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat Peradi menanggapi hal tersebut bahwa, “Tindakan oknum aparat Patroli Sabhara di TKP, jelas perbuatan iseng dan congkak di jalanan, lantaran karena oknum aparat itu merasa bahwa mereka tidak akan lebih hebat dari yang lain, kalau belum melakukan kekerasan fisik secara brutal di luar tugas-tugas pokok Satuan Sabhara,” ungkapnya.
“Ini adalah tindakan memproduksi keonaran untuk menciptakan krisis kepercayaan publik kepada Pemerintah di tengah Pemerintah sibuk melawan pandemi Covid-19. Ini merupakan potret buram Polisi kita, karena mempertontonkan perilaku brutal untuk hal-hal sepele tanpa alasan yang bisa dipertanggung jawabkan,” prihatinnya.
Lebih lanjut Petrus menyampaikan, “Peristiwa Ini tidak sekedar “tindak kriminal”, tetapi patut diduga ada agenda untuk merusak citra Kapolri Jenderal Idham Azis dan Presiden Jokowi di tengah kesibukan Presiden menghadapi lawan politik yang menunggangi isu Covid-19, nampaknya ada yang salah dengan perilaku aparat Polisi di NTT dan di tempat-tempat lain, seperti ada yang sedang “menggunting dalam lipatan” dengan tujuan merusak citra Pemerintah di saat Pemerintah belum selesai menghadapi pandemi Covid-19, kini muncul perilaku brutal aparat Sabhara menjadi momok yang lebih berbahaya dari Covid-19,” ketusnya.
Sementara Direktur Keamanan Baintelkam Mabes Polri, Brigjen (Pol) Umar Effendi dalam rapat dengan Kantor Staf Presiden (KSP), secara virtual tanggal 16 April 2020 lalu menyatakan ada “resiko” tindakan kriminal yang dapat mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat di tengah pendemi Covid-19. Resiko tindak kriminal dimaksud adalah perilaku kekerasan fisik yang diproduksi oleh oknum Polri melahirkan antipati publik kepada Pemerintah.
“Pernyataan Kapolres Sikka AKBP. Sajimin bahwa Marianus diduga dalam keadaan mabuk sehingga diamankan oleh aparatnya, itu pernyataan bodoh, bahkan membodohi publik, karena sesungguhnya Kapolres Sikka melalui oknum aparatnya sedang memproduksi kekerasan fisik, yang masuk kategori “tindak kriminal” dan mengganggu ketertiban dan keamanan nasional,” sambung Petrus.
“Ini jelas sikap yang tidak profesional dan mencoreng program Kapolri tentang Polisi Promoter, karena AKBP. Sajimin justru diduga membolehkan tindakan brutal anak buahnya dan memupuk sikap brutal anak buahnya atas nama diamankan. Kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok yang sedang tidak suka kepada kepemimpinan Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis,” pungkas Petrus.
Sampai berita ini ditayangkan Kapolres Sikka belum memberikan pernyataan lanjut terkait apa yang dialami Marianus yang dilakukan anggota Sabhara Polres Sikka. (Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat Peradi).